Benarkah Manchester United Telah Menjual Jiwa Mereka?
Jumat, 12/12/2014 10:15 WIB
Halaman 1 dari 4
Jika Anda memiliki 150 juta poundsterling, apa saja yang
bisa Anda beli? Berikut akan kami sampaikan beberapa pilihan kepada
Anda:
* Tiga buah jet pribadi Gulfstream G650, atau...
* 15 buah pulau pribadi di Karibia, atau...
* 53 Lamborghini Veneno Roadsters, mobil termahal di dunia saat ini, atau...
* 3.000 malam (lebih dari 8 tahun) untuk menginap di Royal Penthouse Suite, Hotel President Wilson di Geneva, Swiss, atau...
* 242.326 buah iPhone 6 Plus, gadget yang paling nge-hip sekarang ini di dunia, atau...
* 3 juta copy video game original FIFA 15 yang bisa Anda bagikan ke seluruh penduduk Kota dan Kabupaten Bandung, atau...
* Melunasi seluruh utang negara Vanuatu, atau...
* 9 Mario Balotelli (dengan harga ketika ia pindah ke Liverpool musim ini).
Silakan pilih sendiri yang Anda sukai. Namun, jika Anda bertanya hal serupa kepada Ed Woodward (kepala eksekutif Manchester United) dan Louis van Gaal, mungkin Anda akan mendapatkan jawaban yang sama sekali berbeda.
Musim ini Manchester United telah menggelontorkan uang yang dilaporkan mencapai lebih dari angka 150 juta poundsterling. Uang sebanyak itu mereka pakai untuk membeli enam pemain baru --tentunya bukan 9 Balotelli.
Berada dalam kepanikan, setelah mendatangkan Ander Herrera dan Luke Shaw sebelum Piala Dunia, MU mengontrak Radamel Falcao dan Ángel Di María, serta hanya menambahkan Daley Blind dan Marcos Rojo ke barisan pertahanan mereka setelah era Rio Ferdinand-Nemanja Vidic (termasuk Patrice Evra juga) berakhir.
Mereka juga menjual Danny Welbeck ke Arsenal. Welbeck memang merupakan produk asli binaan akademi United dan juga merupakan bocah asli Manchester (Mancunian), ia dilahirkan di salah satu daerah bernama Longsight.
Perginya Welbeck ini menyisakan sebuah ironi lainnya untuk MU Sekarang ini Mancunian di tim utama United hanyalah Tyler Blackett, William Keane, Thomas Thorpe, dan Michael Keane yang malah dipinjamkan ke Burnley. Manchester United kini semakin miskin Mancunian.
Tapi ironi tak berhenti hanya di situ. Ada ironi lainnya: musim ini MU harus dipimpin seorang Scouser,
ia adalah sang kapten, Wayne Rooney. Rooney lahir di Croxteth,
Liverpool, 28 tahun yang lalu. Ia seorang fans Everton dan juga pemain
akademi Everton. Meskipun kenyataan mengatakan bahwa ia membenci
Liverpool, ia tetap saja adalah seorang Scouser.
Hal-hal di atas tersebut memang menimbulkan banyak kritik pedas dari para pengamat dan juga legenda klub seperti Gary Neville, Bryan Robson, dan Mike Phelan. Mereka semua menyerukan sebuah klaim yang sama, yaitu bahwa MU telah “kehilangan jiwanya”. Benarkah?
Sampai dua minggu lalu, posisi MU di klasemen sementara pun seakan menunjukkan bahwa mereka juga kehilangan banyak poin. Baru sekarang mereka sudah kembali ke zona Liga Champions dan saat ini menduduki peringkat ketiga.
* Tiga buah jet pribadi Gulfstream G650, atau...
* 15 buah pulau pribadi di Karibia, atau...
* 53 Lamborghini Veneno Roadsters, mobil termahal di dunia saat ini, atau...
* 3.000 malam (lebih dari 8 tahun) untuk menginap di Royal Penthouse Suite, Hotel President Wilson di Geneva, Swiss, atau...
* 242.326 buah iPhone 6 Plus, gadget yang paling nge-hip sekarang ini di dunia, atau...
* 3 juta copy video game original FIFA 15 yang bisa Anda bagikan ke seluruh penduduk Kota dan Kabupaten Bandung, atau...
* Melunasi seluruh utang negara Vanuatu, atau...
* 9 Mario Balotelli (dengan harga ketika ia pindah ke Liverpool musim ini).
Silakan pilih sendiri yang Anda sukai. Namun, jika Anda bertanya hal serupa kepada Ed Woodward (kepala eksekutif Manchester United) dan Louis van Gaal, mungkin Anda akan mendapatkan jawaban yang sama sekali berbeda.
Musim ini Manchester United telah menggelontorkan uang yang dilaporkan mencapai lebih dari angka 150 juta poundsterling. Uang sebanyak itu mereka pakai untuk membeli enam pemain baru --tentunya bukan 9 Balotelli.
Berada dalam kepanikan, setelah mendatangkan Ander Herrera dan Luke Shaw sebelum Piala Dunia, MU mengontrak Radamel Falcao dan Ángel Di María, serta hanya menambahkan Daley Blind dan Marcos Rojo ke barisan pertahanan mereka setelah era Rio Ferdinand-Nemanja Vidic (termasuk Patrice Evra juga) berakhir.
Mereka juga menjual Danny Welbeck ke Arsenal. Welbeck memang merupakan produk asli binaan akademi United dan juga merupakan bocah asli Manchester (Mancunian), ia dilahirkan di salah satu daerah bernama Longsight.
Perginya Welbeck ini menyisakan sebuah ironi lainnya untuk MU Sekarang ini Mancunian di tim utama United hanyalah Tyler Blackett, William Keane, Thomas Thorpe, dan Michael Keane yang malah dipinjamkan ke Burnley. Manchester United kini semakin miskin Mancunian.
Hal-hal di atas tersebut memang menimbulkan banyak kritik pedas dari para pengamat dan juga legenda klub seperti Gary Neville, Bryan Robson, dan Mike Phelan. Mereka semua menyerukan sebuah klaim yang sama, yaitu bahwa MU telah “kehilangan jiwanya”. Benarkah?
Sampai dua minggu lalu, posisi MU di klasemen sementara pun seakan menunjukkan bahwa mereka juga kehilangan banyak poin. Baru sekarang mereka sudah kembali ke zona Liga Champions dan saat ini menduduki peringkat ketiga.
Namun, jangan terlalu menghakimi klub ini secara terburu-buru. Apalagi
berkata bahwa MU benar-benar telah menjual jiwa mereka. Kenapa?
Ternyata Manchester United adalah Manchester City
Sebelum kita membahasnya lebih jauh, mari simak pernyataan Sir Alex Ferguson berikut ini:
“Kita tahu Manchester City akan menghabiskan uang mereka. Mereka akan membayar uang transfer secara bodoh dan gaji pemain secara konyol. Kita tahu yang terjadi. Kita tidak bisa melakukan apa-apa tentang itu. Kita tidak seperti klub lain yang dapat menghabiskan banyak uang (untuk transfer). Kita berinvestasi dalam pemain yang akan bersama klub untuk waktu yang lama, yang akan menciptakan karakter klub dan kegembiraan untuk fans. Kita sudah seperti itu dengan baik dan kita akan terus seperti itu.” (Mei 2012)
Pengeluaran City adalah “kamikaze”, seperti yang Ferguson katakan sendiri. Dia ingat bagaimana Sunderland dulu pernah dikenal sebagai klub “Bank of England” namun malah harus terdegradasi.
Sinonim untuk menjelaskan paradigma bisnis transfer Manchester United adalah “tidak bernilai di pasar” menurut kepala eksekutif mereka pada saat itu, David Gill. Maka kami memeriksa sejarah kembali, apakah Gill berkata jujur bahwa United tidak pernah membeli pemain bintang untuk jumlah besar ketika mereka bisa mengembangkan pemain mereka sendiri secara cuma-cuma. Kalau saja itu benar.
Tercatat ada 21 klub yang berbeda yang telah memecahkan rekor transfer Britania sejak Aston Villa mengontrak penyerang Skotlandia, Willie Groves, dengan harga 100 poundsterling pada tahun 1893.
Sejarah mencatat bahwa MU adalah satu-satunya klub yang melakukan pemecahan rekor transfer Britania sebanyak delapan kali. Sunderland dan Arsenal ada pada posisi berikutnya dengan empat kali, sementara Derby County tiga kali, kemudian Newcastle United, Blackburn Rovers, dan... City (akhirnya!) hanya dua kali melakukannya.
Lalu pada era Ferguson? Ternyata! Ferguson memecahkan rekor di atas sebanyak lima kali, yaitu untuk Ruud van Nistelrooy, Roy Keane, Andrew Cole, Juan Sebastian Veron, dan Rio Ferdinand.
Ternyata Manchester United adalah Manchester City
Sebelum kita membahasnya lebih jauh, mari simak pernyataan Sir Alex Ferguson berikut ini:
“Kita tahu Manchester City akan menghabiskan uang mereka. Mereka akan membayar uang transfer secara bodoh dan gaji pemain secara konyol. Kita tahu yang terjadi. Kita tidak bisa melakukan apa-apa tentang itu. Kita tidak seperti klub lain yang dapat menghabiskan banyak uang (untuk transfer). Kita berinvestasi dalam pemain yang akan bersama klub untuk waktu yang lama, yang akan menciptakan karakter klub dan kegembiraan untuk fans. Kita sudah seperti itu dengan baik dan kita akan terus seperti itu.” (Mei 2012)
Pengeluaran City adalah “kamikaze”, seperti yang Ferguson katakan sendiri. Dia ingat bagaimana Sunderland dulu pernah dikenal sebagai klub “Bank of England” namun malah harus terdegradasi.
Sinonim untuk menjelaskan paradigma bisnis transfer Manchester United adalah “tidak bernilai di pasar” menurut kepala eksekutif mereka pada saat itu, David Gill. Maka kami memeriksa sejarah kembali, apakah Gill berkata jujur bahwa United tidak pernah membeli pemain bintang untuk jumlah besar ketika mereka bisa mengembangkan pemain mereka sendiri secara cuma-cuma. Kalau saja itu benar.
Tercatat ada 21 klub yang berbeda yang telah memecahkan rekor transfer Britania sejak Aston Villa mengontrak penyerang Skotlandia, Willie Groves, dengan harga 100 poundsterling pada tahun 1893.
Sejarah mencatat bahwa MU adalah satu-satunya klub yang melakukan pemecahan rekor transfer Britania sebanyak delapan kali. Sunderland dan Arsenal ada pada posisi berikutnya dengan empat kali, sementara Derby County tiga kali, kemudian Newcastle United, Blackburn Rovers, dan... City (akhirnya!) hanya dua kali melakukannya.
Lalu pada era Ferguson? Ternyata! Ferguson memecahkan rekor di atas sebanyak lima kali, yaitu untuk Ruud van Nistelrooy, Roy Keane, Andrew Cole, Juan Sebastian Veron, dan Rio Ferdinand.
Bahkan akan ada pemecahan rekor berikutnya jika saja Robinho tidak
menandatangani secarik kertas kepindahannya ke City pada malam yang sama
ketika Dimitar Berbatov bergabung dengan MU pada tahun 2008.
Jangan lupa juga Ferguson telah mengumpulkan tim yang paling mahal di Inggris sebelum era Class of '92 tenar. Malahan salah satu hal yang menakjubkan tentang kekalahan 5-1 MU yang paling terkenal atas City di Maine Road pada tahun 1989 adalah: Total nilai seluruh pemain City saat itu kurang dari nilai seorang Paul Ince (pemain MU pada saat itu).
“Mereka (United) adalah pemboros terbesar sepakbola dan tampak mampu membeli siapa pun dengan harga berapapun,” ujar Gary James, seorang penulis Manchester, A History Football, seolah membuat kita menganga bahwa dahulu United adalah City.
Menurut Transfermarkt, United di bawah era Ferguson sudah menghabiskan lebih dari setengah miliar poundsterling untuk mendatangkan pemain.
Apakah kami harus mengulang pertanyaan yang mengawali artikel ini: “Jika Anda memiliki setengah miliar poundsterling, apa saja yang bisa Anda beli?” Rasanya tidak. Kalaupun Anda masih penasaran, silakan cari jawabannya sendiri.
“Kematian” Manchester United adalah Sebuah Perayaan Kehidupan
Ada rasa yang sedikit aneh ketika MU pada hari terakhir jendela transfer menginginkan bek tengah tetapi malah mendaratkan Falcao. Ini seperti seseorang pergi ke rumah sakit untuk operasi prostat tetapi malah keluar rumah sakit dengan hasil operasi payudara.
Di tengah semua perdebatan tentang Welbeck, seorang Scouser yang menjadi kapten, serta seputar glamornya generasi Beckham, Butt, Giggs, Scholes, dan Neville dengan film dan buku mereka, maka sekarang ini adalah saatnya pertanyaan besar yang mempertanyakan ketergantungan MU pada sistem pemain muda mereka.
“Youth, Courage, Greatness” yang tertulis tegas pada bagian dalam seragam mereka musim ini adalah hal yang tidak diragukan lagi kebenarannya bagi banyak orang di Old Trafford, di mana mereka telah menghasilkan sejumlah pemain yang luar biasa dari akademi tim mereka selama dekade terakhir.
Itu adalah kebenaran. Namun, yang tidak terlihat jelas adalah kualitas yang diperlukan untuk tetap berada di klub ini dari segi ukuran ambisi. Biarkan Welbeck berlalu, sekarang mari melihat ke depan bersama Blackett dkk. sebagai Mancunian bonafid yang tersisa dalam skuat.
Jangan lupa juga Ferguson telah mengumpulkan tim yang paling mahal di Inggris sebelum era Class of '92 tenar. Malahan salah satu hal yang menakjubkan tentang kekalahan 5-1 MU yang paling terkenal atas City di Maine Road pada tahun 1989 adalah: Total nilai seluruh pemain City saat itu kurang dari nilai seorang Paul Ince (pemain MU pada saat itu).
“Mereka (United) adalah pemboros terbesar sepakbola dan tampak mampu membeli siapa pun dengan harga berapapun,” ujar Gary James, seorang penulis Manchester, A History Football, seolah membuat kita menganga bahwa dahulu United adalah City.
Menurut Transfermarkt, United di bawah era Ferguson sudah menghabiskan lebih dari setengah miliar poundsterling untuk mendatangkan pemain.
Apakah kami harus mengulang pertanyaan yang mengawali artikel ini: “Jika Anda memiliki setengah miliar poundsterling, apa saja yang bisa Anda beli?” Rasanya tidak. Kalaupun Anda masih penasaran, silakan cari jawabannya sendiri.
“Kematian” Manchester United adalah Sebuah Perayaan Kehidupan
Ada rasa yang sedikit aneh ketika MU pada hari terakhir jendela transfer menginginkan bek tengah tetapi malah mendaratkan Falcao. Ini seperti seseorang pergi ke rumah sakit untuk operasi prostat tetapi malah keluar rumah sakit dengan hasil operasi payudara.
Di tengah semua perdebatan tentang Welbeck, seorang Scouser yang menjadi kapten, serta seputar glamornya generasi Beckham, Butt, Giggs, Scholes, dan Neville dengan film dan buku mereka, maka sekarang ini adalah saatnya pertanyaan besar yang mempertanyakan ketergantungan MU pada sistem pemain muda mereka.
“Youth, Courage, Greatness” yang tertulis tegas pada bagian dalam seragam mereka musim ini adalah hal yang tidak diragukan lagi kebenarannya bagi banyak orang di Old Trafford, di mana mereka telah menghasilkan sejumlah pemain yang luar biasa dari akademi tim mereka selama dekade terakhir.
Itu adalah kebenaran. Namun, yang tidak terlihat jelas adalah kualitas yang diperlukan untuk tetap berada di klub ini dari segi ukuran ambisi. Biarkan Welbeck berlalu, sekarang mari melihat ke depan bersama Blackett dkk. sebagai Mancunian bonafid yang tersisa dalam skuat.
Mengutip Tony Park, seorang sejarawan dan penulis yang mengkhususkan
diri dalam tim muda mereka, bahwa pertandingan pekan ini melawan
Liverpool di Old Trafford akan menjadi pertandingan berturut-turut
ke-3.081, sejak 1937, bahwa pemain lokal (homegrown player) selalu diikutsertakan pada daftar skuat mereka.
Setidaknya
(harapannya) hal itu tidak harus berubah, dan Van Gaal pun telah
bersikeras bahwa itu tidak akan berubah. Periksalah kembali sejarah.
Anda akan menemukan bahwa Van Gaal memberikan Clarence Seedorf debutnya di Ajax pada usia 16 tahun, ia juga membuat Thomas Mueller menjalani debutnya di FC Bayern Munich, dan masih banyak contoh lagi untuk Van Gaal agar dikatakan sebagai manajer yang memberi kesempatan kepada pemain muda daripada hanyut terus di bawah arus pemain dengan nama besar.
Jika generasi MU berikutnya ini cukup berbakat untuk menahan diri mereka sendiri, mereka akan tetap berada dalam tim. Tapi klub ini benar-benar tidak harus meminta maaf karena merogoh dompet mereka.
Cara ini sudah mereka lakukan sejak Sir Matt Busby membayar rekor 115.000 poundsterling untuk Denis Law dari Torino pada tahun 1962 dan, sekali lagi, ketika Robson tiba dari West Bromwich dengan nilai 1,5 juta poundsterling pada tahun 1981.
Di María dengan 59,7 juta poundsterling hanyalah bagian dari perkembangan alami dari semua hal di atas. Apalah arti sepakbola tanpa uang?
Ini adalah sepakbola. Seluruh generasi fans MU sedang berjuang untuk beradaptasi dengan dunia ketakutan, kekecewaan, dan ketidakpastian. Jika olahraga benar-benar adalah mikrokosmos dari kehidupan, maka tiga komponen di atas memang tidak akan bisa terpisahkan.
Kejayaan seharusnya hanya menjadi kilasan nikmat, bukan cara hidup. Era pasca-Ferguson telah menjadi kebangkitan yang kasar untuk logika. Dalam kata-kata abadi Dr. Seuss, “Jangan menangis karena semuanya berakhir, tersenyumlah karena hal itu terjadi,” menunjukkan bahwa cinta adalah segalanya.
Kita harus merangkul momen ini layaknya sebagai sebuah pemakaman yang menjadi perayaan kehidupan. Ini adalah kesimpulan alami dari segala sesuatu. Rasa menerima membuat lebih banyak logika yang masuk akal daripada rasa penolakan. Biar jiwa mereka kalaupun memang hilang, yang akan menemukan diri mereka sendiri perlahan-lahan.
Anda akan menemukan bahwa Van Gaal memberikan Clarence Seedorf debutnya di Ajax pada usia 16 tahun, ia juga membuat Thomas Mueller menjalani debutnya di FC Bayern Munich, dan masih banyak contoh lagi untuk Van Gaal agar dikatakan sebagai manajer yang memberi kesempatan kepada pemain muda daripada hanyut terus di bawah arus pemain dengan nama besar.
Jika generasi MU berikutnya ini cukup berbakat untuk menahan diri mereka sendiri, mereka akan tetap berada dalam tim. Tapi klub ini benar-benar tidak harus meminta maaf karena merogoh dompet mereka.
Cara ini sudah mereka lakukan sejak Sir Matt Busby membayar rekor 115.000 poundsterling untuk Denis Law dari Torino pada tahun 1962 dan, sekali lagi, ketika Robson tiba dari West Bromwich dengan nilai 1,5 juta poundsterling pada tahun 1981.
Di María dengan 59,7 juta poundsterling hanyalah bagian dari perkembangan alami dari semua hal di atas. Apalah arti sepakbola tanpa uang?
Ini adalah sepakbola. Seluruh generasi fans MU sedang berjuang untuk beradaptasi dengan dunia ketakutan, kekecewaan, dan ketidakpastian. Jika olahraga benar-benar adalah mikrokosmos dari kehidupan, maka tiga komponen di atas memang tidak akan bisa terpisahkan.
Kejayaan seharusnya hanya menjadi kilasan nikmat, bukan cara hidup. Era pasca-Ferguson telah menjadi kebangkitan yang kasar untuk logika. Dalam kata-kata abadi Dr. Seuss, “Jangan menangis karena semuanya berakhir, tersenyumlah karena hal itu terjadi,” menunjukkan bahwa cinta adalah segalanya.
Kita harus merangkul momen ini layaknya sebagai sebuah pemakaman yang menjadi perayaan kehidupan. Ini adalah kesimpulan alami dari segala sesuatu. Rasa menerima membuat lebih banyak logika yang masuk akal daripada rasa penolakan. Biar jiwa mereka kalaupun memang hilang, yang akan menemukan diri mereka sendiri perlahan-lahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar